Jumat, 09 Desember 2011

PERILAKU POLITIKUS DAN PENDANAAN PARTAI POLITIK




Pendahuluan
Indonesia setelah 65 tahun merdeka merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi meski dalam perjalanannya Indonesia mengalami beberapa perubahan pada sistem pemerintahan yang demokrasi tersebut. Diawali pada awal kemerdekaan dimana Indonesia menganut sistem demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan pasca reformasi. Keadaan ini menjadikan pendidikan politik yang cukup bagi masyarakat indonesia yang telah mengalami kehidupan politik dalam jangka waktu yang cukup panjang, yakni selama 65 tahun.
Kehidupan  demokrasi di Indonesia tidak lepas dari peran partai politik sebagai indikator negara menganut sistem pemerintahan yang demokratis melalui sistem pemilu, baik dengan dwi partai yakni indonesia pada masa orde baru (PDI dan PPP, Golkar dianggap suatu golongan, bukan partai yang kemudian menjadi partai pada masa reformasi hingga sekarang), multipartai yakni indonesia pada masa orde lama dan pasca reformasi.
Peranan partai politik tersebut tentu tidak terlepas dari sosok individu yang menaungi atau menjalankan partai tersebut beserta kader dan simpatisan-simpatisannya yang kita sebut politikus atau politisi. Politikus atau politisi adalah individu atau sekelompok orang yang bergerak dibidang politik. Sedangkan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Namun definisi tersebut adalah sebuah definisi yang sangat murni dan ideal dari teori klasik yang menjadi tujuan pokok serta harapan dari masyarakat akan sesuatu yang bernama politik dimana definisi politik tersebut tidak semurni politik pada masa kini.Definisi lain mengenai politik adalah seni dan ilmu dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Maka dengan definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa seorang politisi atau politikus adalah seseorang atau kelompok yang bergerak  pada sebuah organisasi formal maupun non formal dengan tujuan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan menurut Barbara Goodwin (2003) adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang bersangkutan tidak akan dipilih. Dengan kata lain kekuasaan tersebut adalah suatu kekuatan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain untuk melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Begitu dahsyatnya kekuatan sebuah kekuasaan menjadikan seseorang atau kelompok memperebutkan serta mempertahankan kekuasaan selama mungkin, jika perlu seumur hidup dengan berbagai cara. Seperti contoh yang telah kita alami yaitu pada masa pemerintahan Soekarno melalui MPR mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup. Soeharto dengan kekuasaan yang mencapai 32 tahun menjadi presiden Republik Indonesia hingga akhirnya lengser dengan kekuatan dari rakyat indonesia sendiri. Kekuasaan yang mereka peroleh tidak terlepas dari partai politik yang menjadi basis mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan seperti Soeharto dengan  Golkar sehingga mengantarkan kekuasaan kepresidennya selama 32 tahun. Sejarah mengatakan selama pemerintahan Soeharto dan era kegemilangan Golkar dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan banyak terjadi penyimpangan dari politikus yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun hal tersebut tidak terekspos ke masyarakat terkait dengan pengekangan terhadapan kebebasan pers yang kala itu selalu menjadi suara pemerintah. Politikus pada era Orde baru dianggap sebagai orang suci.Kejahatan politik para politikus ditutup, bahkan publik tidak diberi kesempatan untuk mengkritisi. Para politikus saat itu ditempatkan seperti setengah dewa yang tidak bisa salah atau dikritik. Ini menunjukan semakin lama seorang bertengger dipuncak kekuasaan maka semakin besar penyimpangan yang mereka lakukan gunakan mempertahankan kekuasaan.( Soeharto,Khadaffi,Ferdinand Ramos,Husni Mubarak, Raja Louis XVI). Sedangkan pada era reformasi media merupakan salah satu alat kontrol sehinggga masyarakat bisa dengan mudah memantau perilaku politikus yang berada dalam ruang persidangan, seperti tidur, main game, ngobrol, ricuh  dan yang terparah adalah menonton video porno pada saat persidangan tengah berlangsung. Penurunan citra publik terhadap politisi itu merupakan efek langsung dari reformasi. Karena di era reformasi, para politikus dipotret secara langsung oleh publik tanpa batas.
Penurunan popularitas atau pencitraan terhadap perilaku politikus era reformasi bukan tanpa fakta yang jelas, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam penelitiannya menyebutkan hanya 23,4 persen responden yang masih memandang positif para politikus, sementara 51,3 persen lainnya menganggap politikus buruk. Belum lagi dengan kasus yang kebelakangan ini santer terdengar yakni mengenai Nazarudin, seorang bendahara partai berkuasa saat ini dengan kasus suap wisma atlet SEA Games yang melibatkan beberapa anggota DPR dan ketua umum partai demokrat yang notabene politikus – politikus yang duduk dilembaga tinggi negara, bahkan adanya indikasi keterlibatan aktor besar yang menyebabkan rumitnya dalam menguak kasus tersebut.

Mahalnya Sebuah Kekuasaan
Mahalnya sebuah kekuasaan mungkin ungkapan yang tepat dalam pelaksanaan demokrasi diindonesia. Betapa tidak, untuk memenangkan sebuah pemilihan ditingkat yang paling rendah misalnya kepala desa saja memerlukan modal untuk menggerakan tim sukses, memperoleh simpati warga dengan membagikan kaos, payung, dan atribut – atribut lainnya belum lagi ditambah biaya konsumsi serta biaya kampanye serta biaya lainnya. Contoh tersebut hanya untuk memperoleh kekuasaan disuatu wilayah kecil seperti desa, pertanyaannya bagaimana untuk memperoleh simpati seluruh masyarakat indonesia yang berjumlah 237,560 (BPS.2010). Sebuah partai besar tentunya memerlukan biaya operasional yang besar pula untuk membiayai segala macam kegiatan rutin,dana untuk operasional sekretariat,konsolidasi organisasi, mulai dari rakernas, kongres, hingga muktamar. Belum lagi biaya kampanye yang sangat besar,". Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan UU No 11/2011 tentang Partai Politik  (ApaKabar.Net) menjelaskan beberapa sumber dana yang bisa diperoleh parpol sebagai sumber pendanaan bagi kegiataan parpolnya. Adapun sumber pendanaan berupa :
1.    dana dari iuran anggota, adalah sumbangan yang tidak terbatas atau menurut kemampuan dari anggotanya ;
2.    sumber pendanaan perorangan,yaitu bukan berasal dari anggota parpol yang bersangkutan, besarannya Rp.1M pertahun anggaran;
3.    badan usaha, bekisar Rp.7,5M pertahun anggaran;
4.     APBN berdasarkan jumlah suara parpol yang ada dilegislatif,Sementara sumbangan dari anggaran negara dibatasi berdasarkan kemampuan keuangan dalam APBN dan APBD. Perhitungannya berdasarkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya (9 April 2009). Informasi yang beredar, Keputusan Menteri Dalam Negeri menyebutkan angka Rp. 108,- per suara per tahun anggaran. Dalam perhitungan kasar saja (dikalikan dengan Rp. 100,-), apabila jumlah suara sah dalam pemilu 2009 mencapai angka 104.099.785, maka total anggaran negara yang diberikan kepada partai politik lebih dari Rp. 10.409.978.500. Namun partai politik yang dapat APBN dan APBD hanyalah yang mendapatkan kursi di DPR dan DPRD.

Karena itu, dengan jumlah total suara sembilan partai politik di DPR yang hanya 85.051.132, maka total APBN yang diberikan kepada partai politik di DPR adalah sebanyak Rp. 8.505.113.200,- (dengan asumsi dikalikan Rp.100,-). Kalau dibulatkan lagi sekitar Rp. 8,5 M per tahun anggaran. Partai Demokrat mendapatkan sekitar Rp. 2,1 M, sementara Partai Golkar mendapatkan sekitar Rp. 1,5 M. Angka ini tentu berbeda di masing-masing DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Besarannya tergantung kepada perolehan masing-masing partai politik, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR RI.
Jika dikaitkan dengan jumlah APBN yang sekitar Rp. 1.200 Trilyun, total anggaran yang diberikan kepada partai politik tidak sampai mencapai angka 0,01%. Tentu angka-angka tersebut masih angka normatif. Angka riilnya dihitung lagi berdasarkan APBN dan APBD. Jika diperkiraan Rp. 8,5 M dikalikan 3 (untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau DPRD kota), maka terdapat angka Rp. 25,5 M dari APBN dan APBD per tahun anggaran. Namun apakah sumber pendanaan tersebut cukup memadai untuk membiayai semua kegiatan parpol dari level pusat hingga daerah.Jadi bagaimana partai politik menutupi kekurangan anggaran? Mayoritas membebankan kepada legislator atau yang menjadi pejabat (politik) di eksekutif.melalui potongan gaji sudah pasti. Walau ketentuan ini tidak ada dalam undang-undang, prakteknya dilakukan di semua partai politik. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya kasus-kasus korupsi atau penyalah-gunaan jabatan. Politisi menjadi perpanjangan tangan dari mata rantai yang tersembunyi dalam urusan tender proyek-proyek pemerintah Kasus-kasus suap dan korupsi yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin merupakan contoh kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games ke-XXVI, yang merupakan proyek pembiayaan dari APBN. Tidak hanya itu Nazarudin menyebutkan dalam wawancara dengan koran tempointeraktif
 “mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dituding sebagai pihak yang sebenarnya menikmati aliran dana dari beberapa proyek yang dibiayai APBN, termasuk pembangunan wisma atlet. Dalam kasus suap Rp 1,5 miliar untuk memuluskan pembangunan infrastruktur 19 daerah bernilai Rp 500 miliar di Kemenakertrans, uang suap juga diduga akan dialirkan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang sekaligus adalah Ketua Umum PKB. Pimpinan KPK mengakui uang akan dialirkan ke Muhaimin, meski belum sampai ke yang bersangkutan (Tempointeraktif, 3 September)”
Dari pernyataan tersebut dapat kita ketahui bagaimana dana ilegal yang diperoleh oleh politisi terlibat dalam proyek pemerintah maupun dugaan korupsi di tender pemerintah tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pembiayaan partai politik dikelola untuk memenuhi pembiayaan parpol yang sangat tinggi.
Perbandingan  sumber pendanaan parpol demokrat di Amerika Serikat
Berbanding terbalik dengan Indonesia, sumber pendanaan partai politik pada pemilu 2008 yang mengantarkan Barack Husein Obama menjadi orang nomor satu di Amerika bahkan didunia. Adapun dana yang didapatkan oleh parpol demokrat yang mengusung Barack Obama yakni dana yang sebagian besar didapatkan dari publik atau masyarakat yang mendukung ia sebagai kandidat presiden. Dana publik yang terkumpul oleh tim sukses obama (yang juga bekerja secara sukarela tanpa digaji) adalah sebesar US$750 juta (sekitar Rp6,4 triliun). Ini menunjukkan angka partisipasi politik yang sangat tinggi dari masyarakat sekitar 550 ribu orang menyumbang untuk dana kampanye Obama. Sementara untuk kampanye berikutnya dan pemilihan presiden yang akan diadakan 6 november 2012 selama 3 bulan kampanye tim sukses Obama berhasil mengumpulkan US$86 juta (sekitar Rp736,3). Tingginya partisipasi politik menandakan kepedulian warga negara terhadap permasalah yang terjadi di negaranya serta harapan akan timbulnya perubahan dan perbaikan dalam masyarakat terhadap kandidat pemimpin yang dipilih. Dan seandainya Obama terpilih kedua kalinya hal ini menunjukan bahwa ia tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan tidak melayani kepentingan kelompok saja.
PENUTUP
Partai politik bukanlah organ pemerintah, melainkan entitas yang diciptakan dan lahir dari masyarakat, yang menjaga independensinya dari negara (I Torres, 2000: 199). Partai politik yang independen tidak akan menadahkan tangannya ke negara apalagi mengerogoti dana APBN. Partai politik yang lahir dari masyarakat akan memaksimalkan para kadernya dalam membuat sumur keuangan seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Dan para kader inilah yang nantinya memberikan suntikan dana agar partai dapat bergerak. Layaknya semua organisasi masyarakat, kebutuhan pendanaan bagi partai politik adalah masalah krusial. Jika dana tak mengalir,  program partai tak berjalan maksimal.
Mencari dana untuk partai politik adalah hal yang wajar namun dengan cara yang wajar pula serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sudut pandang ekonomi, aktivitas politik memiliki ciri khusus. Pada prinsipnya aktivitas politik adalah aktivitas sukarela yang harus didanai oleh siapa saja yang masuk dalam partai politik, baik anggota maupun simpatisannya (Antonio Argondana, 2002: 5).
Kesukarelaan anggota atau simpatisan mendanai partai tidak boleh diambilkan dari keuntungan ekonomi dan bisnis yang melanggar hukum, dan tidak boleh dipetik dari proyek pemerintah. Sebab, sejatinya partai politik adalah organ yang dikreasikan oleh masyarakat dan independen dari negara. Prinsip Independensi ini dimaksudkan agar partai politik tidak ragu dalam mengawasi negara. Bagaimana mungkin partai mau mengawasi negara kalau anggotanya  sendiri menggerogoti uang negara.
Informasi dugaan aliran duit ke Partai Demokrat ataupun PKB adalah bukti bahwa sebagian politikus dan partai politik tertentu melanggar prinsip independensi partai. Politikus tingkat nasional mengatur proyek pemerintah, merampok sebagian dana APBN, untuk kepentingannya. Misalnya, uang hasil korupsi itu digunakan untuk  maju ke kursi panas pimpinan partai.
Akuntabilitas terhadap keuangan parpol kedepannya harus lebih trasparan serta pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam perundangan – undangan mengenai penyimpangan yang terjadi dalam tubuh parpol dan para politikus nakal dengan sangsi yang lebih tegas disertai aparat penegak hukum. Dengan demikian proses demokratisasi dan angka partisipasi politik warga negara Indonesiapun meningkat sesuai dengan hakikat demokrasi yang sesungguhnya “Dari,Oleh dan Untuk Rakyat”.


DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,Miriam.2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar